Central Bussiness District atau yang lebih dikenal dengan CBD merupakan pusat komersial dan bisnis yang dikembangkan di sebuah lokasi dan menjadi magnet bisnis bagi pebisnis maupun investor. Sebuah CBD biasanya ditandai dengan pesatnya pembangunan dan aktivitas bisnis di kawasan tersebut. Sebut saja properti ritel, gedung-gedung perkantoran, hotel, perbankan, biasanya akan mengisi kawasan CBD tersebut.
Kawasan kota sepanjang Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk merupakan CBD pertama di Jakarta sebelum CBD segitiga emas Jakarta saat ini dengan berdirinya kantor-kantor pusat bank disana. Namun seiring waktu dengan dibukanya area baru dengan memperbolehkan bangunan-bangunan tinggi di sepanjang koridor Thamrin-Sudirman, CBD pun 'berpindah' ke wilayah ini dan bertahan sampai saat ini, yang mencakup koridor Sudirman, Gatot Subroto dan Thamrin. Lalu apakah dapat terbendung saat ini?
The Sleeping Giant Kemayoran |
Pelebaran CBD di Jakarta yang cukup luas pun akhirnya juga tidak dapat dibendung lagi mengingat pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Mulai dari segitiga emas Thamrin-Sudirman-Gatot Subroto kini telah melebar ke arah Rasuna Said, Jalan Satrio dan saat ini mulai melebar lagi ke arah MT Haryono. Hal ini dapat dilihat dari indikasi banyaknya pembangunan-pembangunan proyek properti di sepanjang koridor ini. Dan yang lebih terbaru lagi, perkembangan CBD telah “loncat” ke arah TB. Simatupang.
Sebenarnya Beban berat CBD saat ini adalah perlunya kawasan lain sebagai penunjang aktifitas bisnis dan jasa disana dan juga harus dipikirkan pula kawasan-kawasan lain yang berpotensi menjadi CBD baru. Salah satunya yang diprediksi bakal mampu berkembang menjadi pesaing CBD segitiga emas saat ini adalah kawasan Kemayoran. Letaknya strategis, tidak jauh dari pusat pemerintahan, juga dari golden triangle. Kemayoran dikelilingi oleh beberapa pusat perdagangan, seperti Mangga Dua, Pasar Baru, Senen, Kelapa Gading, dan Sunter. Belum lagi, Kemayoran juga pernah menjadi lokasi Bandara Internasional Kemayoran dengan infrastruktur dari eks landasan pacu pesawat yang sangat memadai.
Kawasan Kemayoran saat ini nyaris dilupakan, padahal Kemayoran mempunyai posisi yang tidak kalah strategis dengan pusat-pusat bisnis yang ada. Hal ini diyakinkan akan membuatnya menjadi CBD baru bila dikelola secara baik. Sepertinya The Sleeping Giant Kemayoran adalah sangat tepat diberikan kawasan ini.
Perkembangan kawasan Kemayoran sebelumnya sempat pesat sekitar tahun 2002-2004. Hal ini ditandai dengan banyaknya penjualan dan pembangunan apartemen. Namun sayangnya tidak dilanjutkan dengan pembangunan pusat-pusat perkantoran untuk menuju terbentuknya sebuah CBD. Rencana besar Cyber City Kota Kemayoran pun pupus. Diperkirakan salah satu faktor yang memengaruhi lambannya pengembangan kawasan Kemayoran ini adalah status kepemilikan lahan yang masih bersifat HPL (Hak Pengelolaan), tanah milik Sekretariat Negera (Sekneg). Namun menurut Ali Tranghanda (CEO Indonesia Property Watch) hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemayoran tidak akan dapat menjadi CBD jika pembangunan sektor perbankan dan keuangan tidak ada di kawasan ini. “Sebuah CBD terbentuk, diawali dengan masuknya sektor perbankan, keuangan, dan jasa. Kemayoran harusnya fokus pada sektor itu bila ingin menjadi CBD”, jelas Ali Tranghanda.
HPL Lebih Nyaman Investasi
Dalam sebuah diskusi, sekitar bulan Juli 2015 lalu, yang diselenggarakan oleh Ciputra Group, Direktur Pengelolaan dan Pengadaan Tanah Pemerintah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, M. Noor Marzuki, menegaskan bahwa investasi di atas lahan HPL justru memiliki banyak keistimewaan. Menurutnya Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL juga dapat diperpanjang, diperbaharui, serta dijaminkan, sama seperti HGB Murni (Hak Milik). “Istimewanya HGB di atas HPL, jika suatu saat terjadi permasalahan di lapangan, yang bertanggung jawab langsung adalah pemegang Hak Pengelolaan (HPL) dalam hal ini pemerintah, bukan pemilik HGB,” jelasnya.
Walaupun demikian, dalam kondisi tertentu memang tanah HPL dapat diambil alih oleh pemerintah. Ada beberapa alasan terjadinya hal tersebut, yaitu pihak ketiga secara sukarela mengembalikan hak penggunaan lahannya meski jangka waktu yang disepakati belum berakhir. Bisa juga ketika pihak ketiga melanggar perjanjian yang telah disepakati.
Di tempat yang terpisah, Associate Director Springhill Group, Gede Widiade juga menegaskan minimnya risiko berinvestasi di atas tanah HPL. “Di sini relatif lebih kecil jika ada orang yang menuntut ganti rugi. Tanah bekas lapangan terbang, siapa yang mau menuntut, apalagi ke negara?” ujar Gede.
Jika ditinjau secara segi administrasifnya, sambung Gede, tanah HPL juga lebih tertib sehingga sangat memudahkan pemegang HGB-nya. “Bedanya, harus mendapatkan rekomendasi dari pemegang HPL untuk setiap penerbitan hak, peralihan hak, dan penjaminan. Jadi boleh dibilang di sini justru lebih tertib.” Dengan begitu, investasi properti di kawasan ini pun dipastikan jauh lebih aman dan menjanjikan.
Persepsi negatif yang dialami oleh sebagian masyarakat, menurut Gede adalah lantaran minimnya sosialisasi. Inilah yang menjadi salah satu kendala lambannya pengembangan kawasan Kemayoran, seperti pada periode 2005-2007. Namun demikian, perlahan kawasan ini mulai bergairah. Raksasa yang tadinya tertidur itu bangkit dan mulai berjalan lagi.
No comments:
Post a Comment