Awalnya pada tahun 1985, kawasan Kemayoran yang sebelumnya dikelola oleh Perum Angkasa Pura, diserahkan ke Sekertariat Negara yang kemudian dikelola oleh BPKK (Badan Pengelola Komplek Kemayoran) - yang kini berganti nama menjadi PPKK (Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran). Lahan yang dikelola oleh PPKK tersebut luasnya sekitar 454 hektar. Pada dasarnya lahan ini memiliki empat sertifikat HPL tahun 1987, dengan wilayah HPL-nya adalah sebagai berikut:
- HPL No. 1 : Pademangan Timur (186,8 Ha)
- HPL No.1 : Gunung Sahari Utara (98,4 Ha)
- HPL No. 1 : Gunung Sahari Selatan (94,7 Ha)
- HPL No. 1 : Kebon Kosong (39,1 Ha)
PPKK sebagai pengelola, telah berkomitmen untuk mewujudkan Kawasan Kemayoran agar dapat menjadi kawasan bisnis internasional yang hijau dan bersifat one stop service (Green International Business District - GIBD). Apalagi saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Gubernur Joko Widodo waktu itu telah menyetujui Panduan Rancang Kota (Urban Design Guidelines) untuk pengembangan kawasan Kemayoran ini. Wilayah tersebut pun telah dipetakan dengan tata guna lahan yang dibagi dalam empat zona, yakni:
- KDB Zona Hunian (30-45%)
- KDB Zona Komersial (30-40%)
- KDB Zona Perkantoran (40%)
- KDB Zona Hijau (5%)
Jika ditinjau menurut pembagian blok, maka Blok A diperuntukan bagi perumahan menengah dan menengah bawah, Blok B untuk perkantoran, perdagangan, dan perkantoran pemerintah. Untuk Blok C digunakan untuk perkantoran, perdagangan, pusat pameran (JIExpo), dan perumahan kelas atas, serta Blok D untuk hutan kota, perumahan, dan sekolah. Dengan begini, kawasan Kompleks Bandar Baru Kemayoran akan terbangun menjadi sebuah CBD baru yang lebih tertata.
“Dari identifikasi terakhir, lahan yang akan digunakan untuk kementerian/lembaga pemerintah seluas 70,46 hektar, fasos/fasum dan ruang terbuka hijau seluas 158 hektar (34,9%). Sementara yang lainnya untuk pembangunan yang dikerjasamakan,” ujar Joko Sukamto, Kepala Divisi Pengembangan Usaha PPKK. Menurut dia, master plan pembangunan kawasan Kemayoran itu akan semakin detail.
Namun nyatanya pada awal tahun 1990-an, masih banyak pengembang besar maupun menengah yang ‘menghindari’ kawasan Kemayoran. Padahal tender pertama waktu itu, tanah hanya dijual hanya dengan Rp 125 ribu per meter. Dengan adanya master plan rencana pengembangan kawasan Kemayoran yang diikuti dengan pindahnya event Jakarta Fair ke wilayah ini secara tidak langung ikut membawa angin segar dengan naiknya harga tanah pada tender kedua yaity Rp 400 ribu per meter. Dan setelah akses transportasi mulai terbuka dengan dibangunnya jalan utama, harga tanah pada tender ketiga pun menjadi naik Rp 1,2 juta per meter. Harga tanah tersebut diyakini akan terus naik seiring gencarnya pembangunan ke kawasan itu, baik oleh BUMN maupun swasta hingga berkisar di antara Rp 12-18 juta per meter, saat ini. Ini merupakan bukti bahwa the slipping Giant kemayoran memang mulai menggeliat.
Sampai saat tulisan ini dibuat, sekiranya sudah ada lebih dari 50 pengembang dan pelaku bisnis lainnya yang telah terdaftar untuk menancapkan lini usahanya di kawasan ini. Bahkan gedung-gedung pencakar langit sebagai tempat hunian, pusat bisnis dan perkantoran, rumah sakit, hotel, fasilitas umum, dan perumahan pun telah menyebar. “Di sini sudah ada masjid, gereja, hotel, rumah sakit sudah mulai masuk, sudah ada empat hotel, gedung pameran, pasar dan beberapa fasilitas lain yang terus dipersiapkan,” kata Joko. Sementara lahan tersisa yang siap digunakan sekitar 12,5 hektar. Namun untuk area perdagangan, hunian ataupun perkantoran pada dasarnya masih banyak yang dapat dimanfaatkan.
No comments:
Post a Comment